Maret 27, 2011

Kasus Antasari Ashar (pembahasan)

Selama penyelidikan polisi hingga persidangan vonis bersalah yang dijatuhkan Hakim terhadap Antasari dalam sidang 12 Febuari 2010, terdapat banyak kejanggalan yang hingga pembacaan vonis, kejanggalan-kejanggalan itu tidak terungkap, malah bertambah. Banyak fakta yang diabaikan hakim dan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan untuk mendakwa dan memberatkan Antasari, tidak cukup kuat untuk menunjukkan bahwa ia bersalah.

Pertama, motif Antasari untuk membunuh Nasrudin. Motif yang di dakwakan kepada Antasari adalah cinta segitiga antara dirinya dengan Rani, istri sirih Nasrudin. Pertemuannya dengan Rani di Hotel Grand Mahakam menjadi dasar dakwaan tersebut. Sementara bukti yang diajukan adalah rekaman pembicaraan keduanya yang direkam oleh Nasrudin. Sampai disini, Tiga hal yang janggal, yakni pertemuan keduanya di Hotel tersebut tidak bias membuktikan ada hubungan khusus diantara mereka, apalagi alat bukti berupa rekaman suara tidak jelas yang ada justru tawa cekikikan Rani. Jika merujuk pada ketentuan pasal 183-189 KUHAP maka rekaman tersebut tidak bernilai pembuktian apa-apa dikarenakan tidak termasuk criteria, karena rekaman hanya bias menjadi bukti dalam tindak pinada khusus. Lalu motif perekaman pertemuan Rani-Antasari juga tidak ditelusuri oleh pengadilan. Motif cinta segitiga ini jelas sebenarnya tidak terbukti.

Kedua, Tidak ada fakta bukti persidangan yang menunjukkan Antasari memberi perintah secara langsung untuk membunuh Nasrudin. Majelis hakim hanya menyebutkan Sigit Haryo Wibisono dan Kombes Pol Chaerul Anwar (Kapolres Jakarta Selatan) bertemu dengan Antasari Azhar di Jalan Pati Unus, Jakarta Selatan pada awal Januari 2009. Dalam pertemuan itu, Antasari meminta untuk mendeteksi siapa yang telah meneror dirinya itu. Di tempat yang sama pula, Sigit Hermawan Lo memperkenalkan dengan Kombes Pol Wiliardi Wizard serta Antasari menyatakan dirinya sering mendapat teror. Kemudian Williardi Wizard menyatakan siap untuk membantu mencari pelaku teror itu. Williardi meminta Jerry Hermawan Lo untuk dipertemukan dengan Edo (eksekutor). Williardi meminta uang kepada Sigit untuk mendapatkan uang operasional dalam mencari pelaku teror. Pertemuan Sigit-Antasari di rumah Sigid yang diakuinya untuk merencanakan pembunuhan dan Antasari menyerahkan amplop berisi data Nasrudin tidak dapat menjadi acuan karena hanya kesaksian sepihak. Bukti rekaman pembicaraan yang direkam oleh Sigid sendiri pun tidak mengindikasikan apapun. Selain itu, jaksa penuntut umum (JPU) tidak membuka rekaman CCTV yang disita dari rumah Sigid untuk membuktikan perihal penyerahan amplop coklat berisi data-data tentang Nasrudin, yang menurut JPU diserahkan Antasari kepada Wiliardi. Motif perekaman oleh Sigid pun sangat tidak masuk akal. Sampai disini, belum ada bukti yang mengidikasi adanya perintah dari Antasari untuk membunuh orang yang menerornya (Nasruddin).

Ketiga, SMS ancaman dari Antasari tidak terbukti. Kebenaran SMS tersebut hanya dikuatkan sejumlah saksi yang mengatakan pernah diperlihatkan isi SMS tersebut saat Nasruddin belum dibunuh. Isi SMS tersebut adalah "Maaf, permasalahan ini hanya kita yang tahu. Kalau sampai ter-blow up, tahu sendiri akibatnya." SMS tersebut tidak dapat dibuktikan datang dari Antasari. Berdasarkan data pada CDR perusahaan telepon seluler yang mereka gunakan, Antasari tidak pernah mengirim SMS ancaman pada Nasrudin. Selama periode Februari-Maret 2009, tidak terdapat SMS yang dikirim dari keenam nomor HP milik Antasari kepada Nasrudin berdasarkan data catatan CDR. SMS yang diterima oleh Nasrudin tercatat dengan nomor pengirim yang tidak teridentifikasi, yang mengindikasikan bahwa dapat dikirim melalui web server oleh siapapun. Hal ini bahkan tidak menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya.

Keempat, hakim mengabaikan pertimbangan kemungkinan kasus ini direkayasa. Pengakuan Wiliardi Wizard dan Susno Duaji tentang rekayasa kasus tidak digubris. Padahal fakta-fakta hukum dalam persidangan banyak tidak terbukti. Semua hanya berdasarkan petunjuk-petunjuk dan simpulan-simpulan dari kesaksian yang tidak terbukti secara materiil.

Sejak awal penyelidikan kasus ini memang sudah janggal, segala sesuatu dibuat untuk gampang dilacak. Padahal pelaku adalah orang-orang profesional. Jelas terlihat ini suatu kesengajaan menjebak. Apalagi Rani yang sempat menghilang diawal-awal penyelidikan diharapkan dapat mengatrol pembuktian dakwaan oleh Penuntut Umum, belum memberi nilai yang signifikan dalam pembuktian, karena kasus ini adalah perkara pembunuhan berencana, bukan kejahatan seksual. Bahkan terkesan mencari-cari pembuktian, kalaupun terjadi hubungan seksual antara Antasari Azhar dan Rani, tidak cukup kuat untuk membuktikan terjadinya korelasi antara peristiwa di Hotel Mahakam dengan pembunuhan berencana yang didakwakan.

Dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen ini, secara garis besar para pelaku dibagi menjadi tiga, yaitu kelompok eksekutor (Edo Cs), penyandang dana (Sigid Haryo Wibisono) dan yang menyuruh (Williardi Wizard), serta Antasari Azhar sebagai pelaku turut serta (yang membujuk). Dalam membuktikan keterlibatan masing-masing yang berperan tersebut, diperlukan korelasi antara para pelaku dan hal itu harus terbukti secara fakta persidangan atau yang lebih tepat secara hukum formil, serta sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

Korelasi tidak boleh dilandasi oleh asumsi belaka. Hukum acara di Indonesia menganut hukum formil, karena itu pembuktiannya dilakukan berdasarkan data atau bukti yang diajukan dalam persidangan. Bukti tersebut, dikuatkan oleh dua alat bukti yang sah, bukan hanya sekadar petunjuk atau indikasi. Karena itu, adanya sms (short message service) ancaman, jadi salah satu bukti/petunjuk ancaman dari Antasari terhadap korban menjadi mentah, ketika kemudian saksi ahli menyatakan ternyata terdakwa Antasari tidak pernah mengirim sms dimaksud. Dalam persidangan, juga tidak terlihat jelas hubungan langsung antara eksekutor dan Antasari. Lebih dari itu, terdakwa Williardi Wizard mencabut keterangannya yang amat vital mengenai keterlibatan Antasari dalam eksekusi.

Korelasi yang erat antara eksekutor, Williardi Wizard, Sigid dan Antasari Azhar dalam pertimbangan putusan hakim, seharusnya dikonstruksikan secara jelas dan dikuatkan secara bukti-bukti, agar nanti bisa dipertanggungjawabkan bila dimintakan banding atau peninjauan kembali. Konstruksi yang jelas mengenai hal tersebut merupakan substansi yang paling ditunggu oleh kita semua, konstruksi yang tidak jelas perihal adanya korelasi antara para pelaku dalam hal dinyatakan bersalah dan diteruskan dengan pemidanaan akan dirasakan tidak adil dan mudah dipatahkan pada tingkat yang lebih lanjut.

Tuntutan maksimal pidana mati yang dimaksudkan Jaksa Penuntut adalah untuk menunjukkan adanya keyakinan yang kuat bahwa telah terbukti terdakwa melakukan pembunuhan, justru menjadi kontra produktif. Pada satu sisi, eksistensi pidana mati masih menjadi kontroversi (prokontra), pada sisi lain, penerapan pidana mati dengan pertimbangan atau fakta yang kurang meyakinkan bisa menjadikan peradilan sesat (miscarriage of justice). Padahal, dalam hukuman mati apabila telah dilaksanakan dan ternyata terjadi kekeliruan, tidak mungkin diperbaiki lagi. Apalagi Melihat praktek hukum di Indonesia, umumnya hukuman mati diterapkan terhadap pelaku tindak pidana yang menimbulkan korban cukup banyak, atau yang melaksanakan kejahatannya secara kejam/sadis, atau pun dilakukan bersama dengan kejahatan yang lain, misalnya perampokan, perkosaan.

Di dalam pertimbangannya hakim memang membeberkan dan mebacakan keterangan rekaman secara detail yang diutarakan oleh Ruby Alamsyah dalam persidangan, akan tetapi sangat disayangkan adalah keterangan dari ahli ad charge ITB yang dihadirkan kuasa hukum Antasari Azhar yaitu Dr. Agung Harsoyo tidak diungkit secara panjang lebar padahal keterangan dari ahli Agung Harsoyo tersebut adalah hal yang fundamental. Kubu JPU sering mengindikasikan akan ancaman yang katanya datang dari Antasari Azhar kepada Nasrudin via sms, akan tetapi di dalam persidangan terungkap bahwasannya sms bisa saja terkirim tanpa sepengetahuan pemilik handphone yang dalam hal tersebut telah dibuktikan oleh ahli Agung Harsoyo di persidangan, selain pembuktian secara langsung perihal sms, ahli Agung Harsoyo juga membacakan CDR (Call Data Record) dari nomor Antasari Azhar yang tidak ditemukan secuilpun sms kiriman dari nomor Antasari tersebut. Keterangan dari ahli Agung Harsoyo setidak-tidaknya haruslah dimasukan ke dalam pertimbangan majelis hakim sebagai keterangan untuk penjatuhan vonis, karena sms tersebut diindikasikan sebagai titik mula indikasi “rencana pembunuhan”, padahal pasal 340 merupakan pasal yang dipakai JPU untuk menjerat Antasari Azhar dalam kaitan pembunuhan berencana.

1 komentar: