Desember 21, 2011

Analisis Undang-Undang Pornografi terkait teori sistem politik.

Undang-Undang Pornografi.
Undang-Undang Pornografi disahkan oleh DPR pada Sidang Paripurna DPR 30 Oktober 2008. Sebelumnya, saat masih berbentuk rancangan, bernama Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Pembahasan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR, namun baru tanggal 16 februari 2006, Draft RUU APP pertama kali diajukan.
Sejak saat itu RUU APP langsung mendapat sorotan masyarakat dan menjadi kontroversi, memunculkan kelompok yang mendukung dan menentang. Pembahasannya berlangsung berkali-kali, Draft RUU APP beberapa kali direvisi hingga menjadi RUU Pornografi. Setelah melalui proses sidang yang panjang dan beberapa kali penundaan, pada 30 Oktober 2008 siang dalam Rapat Paripurna DPR, akhirnya RUU Pornografi disahkan.

Teori Sistem Politik
Menurut David Easton, suatu sistem politik bekerja untuk menghasilkan suatu keputusan (decision) dan tindakan (action) yang disebut kebijakan (policy) guna mengalokasikan nilai. Unit-unit dalam sistem politik menurut Easton adalah tindakan politik (political actions) misalnya pembuatan UU, pengawasan DPR terhadap Presiden, tuntutan elemen masyarkat terhadap pemerintah, dan sejenisnya.
Pada ”awal” kerjanya, sistem politik memperoleh masukan dari unit input. Input adalah "pemberi makan" sistem politik. Input terdiri atas dua jenis: Tuntutan dan dukungan. Tuntutan dapat muncul baik dalam sistem politik maupun dari lingkungan (intra dan extrasocietal). Tuntutan yang sudah terstimulasi kemudian menjadi garapan pihak-pihak di dalam sistem politik yang bersiap untuk menentukan masalah yang penting untuk didiskusikan melalui saluran-saluran yang ada di dalam sistem politik. Di sisi lain, dukungan (support) merupakan tindakan atau orientasi untuk melestarikan ataupun menolak sistem politik. Jadi, secara sederhana dapat disebutkan bahwa dukungan memiliki 2 corak yaitu positif (meneruskan) dan negatif (menolak) kinerja sebuah sistem politik.

UU Pornografi dan kaitannya dengan Teori Sistem Politik
Dalam kasus Undang-Undang Pornografi ini, pengajuan Draft RUU APP dari DPR merupakan tuntutan yang muncul dari dalam sistem politik itu sendiri. Pengajuan DRAFT RUU APP yang pertama mengundang 2 macam reaksi dari masyarakat, yakni Dukungan dan Tentangan.
Kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. MUI mengatakan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di museum Sedangkan kelompok yang menentang berasal dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi. Selain itu, terjadi beberapa aksi seperti Gelar Seribu Takhyub (15 maret 2006) dan Karnaval Budaya (22 april 2006) untuk menolak RUU tersebut, serta Aksi Sejuta Umat dan Fatwa MUI yang mendukung RUU APP.
RUU ini dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama. RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan sukubangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila. Apalagi bagaimana dengan adat dan budaya masyarakat Bali dan Papua, yang jika RUU ini lolos menjadi UU jelas akan terikat sanksi hukum. RUU dipandang menganggap bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah. RUU juga dianggap sebagai bentuk intervensi negara dalam mengontrol persoalan moralitas kehidupan personal warga negara, sehingga dapat menjebak negara untuk mempraktikkan politik totalitarianisme. Dari sudut pandang hukum, RUU Pornografi dinilai telah menabrak batas antara ruang hukum publik dan ruang hukum privat.
Keseluruhan dukungan dan tentangan tersebut menjadi Input-input yang diproses (didiskusikan) dalam sistim politik (dalam hal ini ialah Panitia khusus DPR untuk RUU Antipornografi dan Pornoaksi) yang kemudian menyebabkan Direvisinya Draft RUU APP menjadi RUU Pornografi, dimana RUU yang baru tinggal 10 bab dengan 52 pasal dan ketentuan mengenai Pornoaksi dihapuskan. Kemudian tanggal 30 Oktober 2008 disahkan menjadi UU Pornografi, sebuah Output dari proses sistim politik berupa keputusan (decision) sementara Tindakan (Action) dari pemerintah atas decision tersebut, sejauh ini, Ariel vocalist Peterpan adalah satu-satunya orang yang terjerat UU Pornografi. Setelah disahkan, definisi Pornografi dalam UU Pornografi ialah; "Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat."



Referensi:
Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm (Boulder, Colorado: WestView Press, 1981) pp.145-182
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar